Monday, 24 February 2014

Keefektifan Kode Etik


Menurut Singh (2011), keefektifan kode etik tergantung pada elemen program etika, yaitu: ditampilkan agar dilihat semua orang (displayed for all to view), dikomunikasikan kepada semua pegawai (communicated to all employees), sebaiknya menginformasikan kepada pegawai baru (should inform new employees), konsekuensi terhadap pelanggaran (consequences for violation), kriteria untuk penilaian kinerja pegawai (criterion for employee appraisal), dukungan terhadap pelapor pelanggaran (support of whistleblowers), merevisi kode etik setidaknya setiap dua tahun (revise a code at least every 2 years), kode etik sebaiknya memandu perencanaan strategis (code should guide strategic planning), memiliki komite etika yang tetap (have a standing ethics committee), memiliki komite pelatihan etika (have an ethics training committee), pelatihan etika untuk semua staf (ethics training for all staff), memiliki ombudsman bidang etika (have an ethics ombudsman), sebaiknya melaksanakan evaluasi etika (should conduct ethical evaluation), pelanggan sebaiknya diberi informasi (customer should be informed), pemasok sebaiknya diberi informasi (suppliers should be informed), kode etik membantu memperoleh keuntungan bisnis (code assists our bottom line), kode etik membantu penyelesaian dilema etika (codes assist with ethical dilemmas), dan kebutuhan terbesar dalam enam bulan terakhir (greater need in the last 6 months).

Menurut Singh (2011), berbagai elemen program etika dapat diringkas dalam lima variabel, yaitu: pertama, tujuan kode etik (code purpose), yang meliputi elemen kode etik sebaiknya memandu perencanaan strategis (code should guide strategic planning), kriteria untuk penilaian kinerja pegawai (criterion for employee appraisal), kode etik membantu penyelesaian dilema etika (codes assist with ethical dilemmas), kode etik membantu memperoleh keuntungan bisnis (code assists our bottom line), dan sebaiknya melaksanakan evaluasi etika (should conduct ethical evaluation). Variabel pertama ini merangkum berbagai elemen yang terkait dengan maksud diadakannya kode etik. Tujuan kode etik berkaitan dengan pemberian pedoman kepada anggota dan pihak yang berkepentingan lainnya untuk membuat pilihan etis dalam melaksanakan pekerjaannya. Farrel dan Cobbin (sebagaimana dikutip dalam Farrel, Cobbin & Farrel, 2002) menyatakan adanya mainstreaming criteria yang mempengaruhi keefektifan kode etik dalam organisasi, diantaranya keberadaan prosedur normal dalam memecahkan dilemma etika dan kebijakan untuk meninjau kode etik.
Kedua, implementasi kode etik (code implementation), yang merangkum elemen pelatihan etika untuk semua staf (ethics training for all staff), memiliki komite pelatihan etika (have an ethics training committee), memiliki ombudsman bidang etika (have an ethics ombudsman), memiliki komite etika yang tetap (have a standing ethics committee),dan dukungan terhadap pelapor pelanggaran (support of whistleblowers). Variabel kedua ini mencakup berbagai elemen mengenai cara kode etik diperkenalkan dan didukung dalam organisasi. Farrel dan Cobbin (sebagaimana dikutip dalam Farrel, Cobbin & Farrel, 2002) menyatakan adanya mainstreaming criteria yang mempengaruhi keefektifan kode etik dalam organisasi, diantaranya keberadaan petugas dan komite etika serta pelatihan etika. Menurut Schwartz (2004), beberapa faktor penting yang berkaitan dengan keefektifan kode etik dalam mempengaruhi perilaku adalah pelatihan etika dan pelaporan adanya pelanggaran.
Ketiga, pengkomunikasian atau penegakan kode etik ke internal organisasi (internal code communication/enforcement), yang meliputi elemen sebaiknya diinformasikan kepada pegawai baru (should inform new employees),dikomunikasikan kepada semua pegawai (communicated to all employees), dan konsekuensi terhadap pelanggaran (consequences for violation). Variabel ketiga ini menunjukkan pentingnya mengkomunikasikan fakta bahwa organisasi memiliki kode etik yang berarti menunjukkan komitmen organisasi terhadap peraturan. Dengan kata lain, kode etik organisasi disusun dengan serius dan pegawai yang melanggar akan dikenai hukuman. Menurut Stevens (2007), apabila dikomunikasikan secara efektif, kode etik dapat meningkatkan perilaku etis dan memandu pegawai dalam pengambilan keputusan yang etis. Adams dan Rachman-Moore (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kode etik dan komunikasi. Komunikasi merupakan faktor kunci karena konsep etis dalam kode etik tidak dapat dilakukan oleh anggota organisasi apabila mereka tidak peduli atau tidak mengenal kode etiknya dengan baik. Farrel dan Cobbin (sebagaimana dikutip dalam Farrel, Cobbin & Farrel, 2002) menyatakan adanya mainstreaming criteria yang mempengaruhi keefektifan kode etik dalam organisasi, diantaranya penggunaan kode etik untuk memberikan hukuman. Penelitian Yekta, Ahmad dan Kaur (2010) menyimpulkan bahwa komunikasi yang efektif merupakan faktor penting untuk kesuksesan penerapan program kode etik yang mendorong kemauan untuk melaporkan pelanggaran dalam organisasi. Schwartz (2004) menemukan bahwa salah satu faktor penting yang terkait dengan keefektifan kode etik dalam mempengaruhi perilaku adalah penegakan kode etik (enforcement) yang konsisten. Keempat, kekinian dan pengkomunikasian kode etik ke eksternal organisasi (currency and external code communication of code), yang terdiri dari elemen pelanggan sebaiknya diberi informasi (customer should be informed), pemasok sebaiknya diberi informasi (suppliers should be informed), ditampilkan agar dilihat semua orang (displayed for all to view), dan merevisi kode etik setidaknya setiap dua tahun (revise a code at least 2 year).
Variabel keempat ini menunjukkan bahwa kode etik seharusnya didokumentasikan secara umum untuk ditunjukkan kepada pihak internal dan eksternal organisasi (Benson, 1989, Townley, 1992, & Wood, 2002). Farrel dan Cobbin (sebagaimana dikutip dalam Farrel, Cobbin & Farrel, 2002) menyatakan adanya mainstreaming criteria yang mempengaruhi keefektifan kode etik dalam organisasi, diantaranya ketersediaan kode etik untuk diakses oleh masyarakat dan seberapa sering organisasi memodifikasi kode etik. Kelima, kegunaan kode etik terbaru (recency of code utility), yang mencakup kebutuhan terbesar dalam enam bulan terakhir (greatest need in the last 6 month). Variabel kelima ini didasarkan pada kepercayaan bahwa penggunaan terkini kode etik akan meningkatkan persepsi keefektifan kode etik. Beberapa penelitian tentang keefektifan kode etik membentuk perilaku etis telah dilakukan dengan berbagai kesimpulan yang berbeda. Beberapa teori menyatakan bahwa pembuatan keputusan etis atau perilaku dipengaruhi oleh kode etik (Schwartz, 2001). Penelitian Adams et al. (2001) tentang kode etik dan persepsi perilaku etis menyimpulkan bahwa responden dari perusahaan yang memiliki kode etik lebih beretika daripada responden dari perusahaan tanpa kode etik. Mirip dengan itu, Somers (2001) menemukan bahwa kode etik dianggap terkait dengan minimnya pelanggaran dalam organisasi. Schwartz (2001) dalam penelitian terhadap empat perusahaan besar di Kanada juga menemukan bahwa kode etik merupakan faktor yang potensial dalam mempengaruhi perilaku karyawan, manajer dan petugas etika. Penelitian lain menemukan hubungan yang tidak signifikan antara keberadaan kode etik dan perilaku. Penelitian Tsalikis, Fritzche dan Murphy et al. (sebagaimana dikutip dalam Somers, 2001) menunjukkan bahwa karyawan kurang menyadari kegiatan yang tidak etis atau ilegal di organisasi yang telah mengadopsi kode etik. Temuan tersebut memberikan bukti bahwa kode etik kurang memberikan efek di tempat kerja. Hal itu didukung oleh Mathews (sebagaimana dikutip dalam Schwartz, 2001) yang menyatakan bahwa berlawanan dengan harapan semula, hasil penelitian pada perusahaan manufaktur yang paling menguntungkan di Amerika Serikat menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara kode etik dan pelanggaran peraturan pemerintah oleh perusahaan. Temuan tersebut diperkuat lagi oleh McKendall et al. (2002) dalam studi terhadap 108 perusahaan besar di Amerika Serikat yang menemukan bahwa program kepatuhan etika termasuk kode etik, tidak mengurangi pelanggaran keselamatan dan kesehatan kerja. 

No comments:

Post a Comment